Jumat, 28 November 2014

Hujan kan Samarkan Air Matamu

Hujan.
Tanganku menengadah, seakan mengucapkan selamat datang pada hadirnya
Yang membawa sejuta harapan serta duka secara bersamaan
Sepersekian detik, aku tersenyum.

Tersenyum pahit, tepatnya.

Diriku terduduk di pojok suatu tempat.
Meringkuk sendirian, memandang hampa ke arah keramaian.
Orang-orang dengan langkah gegas berlalu lalang dihadapanku.

Lagi-lagi, kau sendirian, gadis kecil, sebuah suara mulai memperdengarkan dirinya dari dalam hati.
 Tidak bosan kau sendirian terus?
Kasihan.


...Mau sampai kapan?

Mau sampai kapan?
Kedua tanganku meremas baju yang sudah kotor terkena lumpur.
Rintik air bertambah deras.
Jatuh, berebutan membasahi tanah

Kugigit bibirku sendiri.
Berusaha menahan agar air mata ini tak lagi jatuh.

Namun, aku gagal, Kawan.
Rupanya, air mata itu telah jatuh
Dan tersamarkan oleh rintik air hujan dari langit.

Ya, hanya air mataku saja yang tersamarkan.

Namun tidak dengan luka di hatiku
Yang sudah membusuk parah.
Serta menganga lebar.


Meninggalkan rasa sakit yang luar biasa
Jika kau sentuh lukanya
Meski hanya sedikit saja.

Luka ini terasa terlalu nyata, Kawan.
Sampai waktu pun seperti tak akan bisa menyembuhkannya. 

Pernahkah kau merasakan
Sebagai manusia yang terlihat
Kau malah merasa menjadi hantu
Karena sosokmu yang seolah-olah tidak terlihat
Pada mata maupun hati para manusia yang lain?

Pernahkah kau merasakan
Ketika kelopak matamu pun tak dapat menahan air matamu lagi?
Hingga, ia mengalir tanpa ampun
Meninggalkan jejak merah pada kedua bola matamu yang dulu bercahaya itu?

Pernahkah kau merasakan
Dirimu sebagai manusia paling menyedihkan di seluruh Dunia?
Di mana tidak ada seorang pun berusaha untuk mempertahankanmu berada di sisinya?
Meski hanya sekejap saja?

Aku pernah.

Sangat pernah.
Bahkan, sampai sekarang.

Aku lelah.
Capai.
Hidup dengan dihantui kesendirian yang begitu menyiksa.
Diusik oleh luka hati yang membusuk.

Aku lelah menangis untuk menumpahkan kesedihanku.
Aku lelah tertawa untuk menutupi kesedihanku.

Kepalaku menengadah ke atas.
Menatap nanar ke arah langit mendung.

Mempertanyakan hal yang masih belum terjawab sampai sekarang.
Mempertanyakan hal yang sepertinya tak akan pernah kudapatkan jawabnya.

Siapa yang dapat mengusir rasa ini?
Sampai kapan aku akan terus seperti ini?

Adakah seseorang berusaha melindungiku dari hujan kesedihan,
kedukaan,
kesepian,
dan berbagai perasaan yang memilukan ini?


Adakah?


**** 

Just another post.

3 komentar: