Jumat, 21 September 2012

Seleb Cilik Dadakan


Seleb Cilik Dadakan
Karya :           Evangelina Tessia Pricilla
2 orang anak kecil di ruangan dan sebuah lemari coklat tua dengan cermin panjang di tengah-tengah lemari berada di hadapan mereka. Mereka yang kumaksudkan tak lain adalah aku dan sepupuku, Marsya. Kami berdua sedang bersiap diri untuk menghadiri sebuah acara di gereja. Kebetulan papa dari Marsya adalah seorang pendeta disana. Masakan keluarga seorang pendeta tidak hadir dalam acara perayaan natal di gereja? Dan kebetulan pada saat itu, aku sedang menginap di rumah mereka. Jadi, dapat dibilang statusku pada saat itu adalah seorang anak angkat yang tinggal serumah dengan mereka selama aku sedang berlibur di kota Malang. Sebenarnya, acara perayaan natal kali ini lebih di prioritaskan kepada orang tua dan lansia. Jika tidak diajak pun, aku malas mengikuti acara tersebut. Derita anak angkat.
            “Non… Noni.. Sudah siap belum? Yuk, berangkat sekarang..” teriak I’Ita dari luar kamar. Dan dari arah yang berlawanan, yaitu dari halaman depan rumah terdengar suara mesin mobil dinyalakan. Maka, kami segera keluar dan bergabung dengan orang tua Marsya yang ternyata sudah berada di dalam mobil.
            Seorang pembantu yang sudah berjaga di depan rumah segera membukakan pintu gerbang untuk kami. Dan… Brmmm… Mobil berwarna hitam yang kami tumpangi segera melaju dengan kecepatan normal menuju ke gereja dimana orang tua Marsya bekerja sebagai hamba Tuhan. Di dalam mobil, untuk memecah keheningan, I’ita sempat bercerita bahwa mantan pemain timnas Indonesia, Irfan Barchdim ternyata berjemaat disana. Untuk sesaat, aku tampak membelalakkan kedua mata, kaget sekaligus takjub itulah yang kurasakan pada saat detik pertama setelah mendengar cerita dari I’Ita. Hmm.. Mungkin jika aku bertemu dengan Irfan Barchdim, maka dengan tampang lugu, aku akan datang kepadanya, meminta tanda tangan dan foto bersama dengannya. Hmm.. Aku jadi berpikir, seandainya saja ada seseorang yang mau datang menghampiriku dan meminta tanda tangan sekaligus foto bersama denganku. Aku pasti akan merasa sangat senang sekaligus bangga terhadap diriku sendiri. Semoga saja suatu saat nanti Tuhan bisa mewujudkan mimpi itu. 
            Sambil memikirkan persoalan tadi, aku memandangi awan-awan di luar jendela mobil yang terkadang berubah-rubah bentuk mengikuti arah kemana angin akan membawanya. Yah, itulah awan. Sama seperti kehidupan yang terkadang di ombang-ambingkan oleh pilihan hidup. Ada pilihan yang baik ada juga yang tidak. Sepandai-pandainya saja kita memilih.
            Hingga pada akhirnya, tak kurasa lagi getaran mesin mobil. Aku tersadar bahwa kami telah sampai di depan gereja. Ya, memang jarak antara rumah Marsya dengan gereja sangat dekat maka dari itu tidak diperlukan waktu lama untuk sampai ke gereja. Aku, Marsya dan I’Ita segera turun dari mobil dan masuk ke dalam gereja, sementara Om Imanuel—papa dari Marsya—sibuk mencari celah diantara mobil-mobil yang sudah berjejer panjang di parkiran gereja.Tahukah engkau kawan? Disini, aku merasa bak seorang artis Hollywood karena disambut dengan karpet merah panjang yang menyelimuti sepanjang jalan masuk ke gereja. Bedanya, kali ini tidak ada paparazzi yang mewawancarai atau sekedar mengambil gambar dari artis Hollywood yang datang.
            Ketika kami telah sampai di ambang pintu gereja, ternyata, sudah banyak jemaat yang hadir. Setelah, aku perhatikan memang benar sebagian besar jemaat yang hadir disini adalah orang tua meskipun masih ada juga beberapa anak kecil lainnya yang sedang duduk bersandar di kursi gereja, di barisan depan tepatnya. Sementara, aku dan Marsya memilih untuk duduk di kursi bagian belakang.
            Selang beberapa menit kemudian, kebaktian natal pun dimulai. Om Imanuel sudah berdiri di depan ratusan jemaat dengan pakaian kebesarannya sebagai pendeta seperti biasa beliau mulai mengatakan salam pembuka dan kemudian diikuti dengan berdoa. Sebelumnya, seluruh jemaat diminta untuk berdiri dan memejamkan mata. Setelah selesai barulah semuanya duduk kembali ke tempatnya masing-masing.
            Untuk diawal acara, aku dan Marsya masih betah duduk di dalam gereja. Tapi, lama-kelamaan bosan juga hingga akhirnya kami memutuskan untuk bermain di suatu ruangan yang katanya digunakan setiap kebaktian hari Minggu khusus bagi anak Balita. Di dalam ruangan itu, terdapat banyak kursi yang saling bertumpu, sebuah air conditioner dan beberapa jenis alat musik, aku dan Marsya menghabiskan waktu dengan bermain dan bercerita sampai berjam-jam hingga pada akhirnya acara kebaktian natal pun selesai.
            Masing-masing jemaat pun akhirnya pulang ke rumah masing-masing begitu juga dengan kami. Di tengah perjalanan pulang, I’Ita menawari kami untuk pergi ke toko buku. Langsung saja kami berdua dengan semangat menganggukkan kepala. Hmm.. Mungkin, sebagian orang mengatakan bahwa toko buku adalah tempat yang membosankan karena sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah rak-rak buku yang saling berjejeran rapi dengan buku dimana-mana. Tapi, anehnya aku malah menyukai tempat yang satu itu bila sudah berada di sana aku langsung sibuk membaca-baca sinopsis buku. Jika sudah dapat buku-buku yang menarik, maka aku akan membawanya ke meja kasir untuk dibaca di rumah. Ya, itulah aku.
            Jarak antara gereja dengan toko buku juga tidak terlalu jauh karena sebenarnya toko buku itu juga terletak di dekat rumah Marsya. Kami berdua diturunkan di depan salah satu toko buku terbesar di kota Malang. I’ita dan Om Im berjanji bahwa mereka akan menjemput kami jika kami sudah puas memilih dan membaca buku disana. Begitu mereka pergi, kami segera masuk ke dalam dengan langkah girang dan langsung mencari bagian novel anak. Karena aku dan Marsya sama-sama menyukai novel yang dibuat oleh anak-anak seusia kami. Sesampainya disana kami langsung sibuk mencari buku yang menarik. Kalau aku sih tidak membutuhkan waktu yang lama karena aku sudah menemukan sebuah buku yang kuincar dari dulu. Sambil menunggu Marsya yang sedang bingung mencari buku, aku terus memandangi buku karanganku yang juga terpajang disana. Aku tersenyum sendiri sambil berbangga diri. Sejujurnya, sampai sekarang aku masih tak menyangka bisa menjadi penulis cilik seperti diriku sekarang ini.
            “Ci, bagusnya buku yang ini atau yang ini ya?” tanya Marsya sambil menunjukkan dua buku di kedua tangannya. Aku langsung saja memilih buku yang sebelah kanan dan rupanya Marsya pun setuju.
            Ketika kami hendak meninggalkan bagian novel anak. Tiba-tiba seorang Ibu datang sambil membawa buku karanganku ditangannya. Dengan pandangan kagum, beliau bertanya, “Dek, adek penulis buku ini ya?”
            DHEG! Aku langsung terdiam kaku. Rupanya, ada juga yang mengenali wajahku disini. Mungkin, beliau sempat sepintas lalu melihat fotoku yang berada di sampul belakang buku. Dengan pipi yang menyunggingkan senyum, aku pun menganggukkan kepala kecil.
            “Sudah sejak kelas berapa adek mulai menulis?” tanyanya penuh antusias.
            “Sejak kelas 7 SMP, Bu…” sahutku sopan.
            “Oh.. dari mana asalnya, Dek? Dari Malang ya?” tanya Ibu itu lagi.
            “Bukan, Bu.. dari Brebes”
            Ibu itu kini terdiam. Kemudian, datanglah seorang Bapak dengan anak perempuannya menghampiri Ibu tadi. Rupanya, mereka adalah keluarga yang juga sedang memilih-milih buku di toko itu.
            Lalu, ibu itu berbicara kembali pada saya, “Saya boleh minta waktunya nggak supaya anak saya bisa berfoto bersama dengan adek?”
            Kejutan!
            Ya, detik itu juga merupakan detik kejutan untukku. Saat itu juga, seorang Ibu meminta secara langsung kepadaku untuk bisa menyempatkan waktu berfoto bersama dengan anaknya. Tentu saja, dengan hati berbunga-bunga aku menjawab, “Tentu saja boleh, Bu..”
            Lalu, putrinya yang nampak malu-malu mulai berjalan kepadaku dengan membawa bukuku. Dan, kami pun berfoto bersama. Selesai foto bersama, ternyata kejutan belum selesai. Orang tua itu juga meminta supaya aku menandatangani buku karyaku tersebut. Saat itu juga, aku benar-benar merasa seperti seleb cilik dadakan! Mereka langsung datang ke meja kasir dan membayar bukuku lalu langsung membuka segelnya dan memberikan sebuah pena agar aku bisa menandatangani bukuku sendiri. Kedua orang tua tadi juga memintaku supaya membuat kalimat motivasi kepada putrinya supaya bisa menjadi penulis cilik sepertiku. Tentu saja aku menyetujuinya. Tahukah kawan? Saat itu juga, banyak pegawai toko buku yang memandangku. Biarkanlah.. aku benar-benar tidak memperdulikannya karena aku sedang merasa sangat senang saat itu. Kemudian, setelah selesai, mereka pun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya padaku dan pamit pulang ke rumahnya.
            “Cieeeee… artis dadakan nih..” ledek Marsya. Aku pun hanya tersenyum malu.
Hari itu, benar-benar hari yang menyenangkan sekaligus merupakan hari yang bersejarah di sepanjang perjalananku sebagai seorang penulis cilik. Ketika aku diperlakukan seperti seorang artis. Akhirnya, suatu mimpi yang kupikir hanyalah mimpi konyol belaka benar-benar menjadi nyata sekarang! Aku benar-benar bersyukur kepada Tuhan saat itu juga karena Ia telah membuat mimpiku menjadi nyata. Terima kasih, Tuhan J





***

3 komentar:

  1. Eh itu penggunaan kata pas "Masakan keluarga pendeta tidak hadir di acara natal" kok kaya gimana gitu ya. Awalnya itu gue kira masakan=makanan. Hehe

    btw, itu cover buku karya kamu ya?

    BalasHapus
  2. soswit hihi :D

    itu buku lo? mau dong :D

    BalasHapus
  3. @Junilinvasion : Yapz :D Hehehe

    kak @irvina : Hahaha :D Aku deliverin ke toko bku terdekat aja ya, Kak :D Hahaha :e:

    BalasHapus