Seleb
Cilik Dadakan
Karya : Evangelina
Tessia Pricilla
2
orang anak kecil di ruangan dan sebuah lemari coklat tua dengan cermin panjang
di tengah-tengah lemari berada di hadapan mereka. Mereka yang kumaksudkan tak
lain adalah aku dan sepupuku, Marsya. Kami berdua sedang bersiap diri untuk
menghadiri sebuah acara di gereja. Kebetulan papa dari Marsya adalah seorang
pendeta disana. Masakan keluarga seorang pendeta tidak hadir dalam acara perayaan
natal di gereja? Dan kebetulan pada saat itu, aku sedang menginap di rumah
mereka. Jadi, dapat dibilang statusku pada saat itu adalah seorang anak angkat
yang tinggal serumah dengan mereka selama aku sedang berlibur di kota Malang.
Sebenarnya, acara perayaan natal kali ini lebih di prioritaskan kepada orang
tua dan lansia. Jika tidak diajak pun, aku malas mengikuti acara tersebut.
Derita anak angkat.
“Non… Noni.. Sudah siap belum? Yuk, berangkat sekarang..”
teriak I’Ita dari luar kamar. Dan dari arah yang berlawanan, yaitu dari halaman
depan rumah terdengar suara mesin mobil dinyalakan. Maka, kami segera keluar
dan bergabung dengan orang tua Marsya yang ternyata sudah berada di dalam
mobil.
Seorang pembantu yang sudah berjaga di depan rumah segera
membukakan pintu gerbang untuk kami. Dan… Brmmm… Mobil berwarna hitam yang kami
tumpangi segera melaju dengan kecepatan normal menuju ke gereja dimana orang
tua Marsya bekerja sebagai hamba Tuhan. Di dalam mobil, untuk memecah
keheningan, I’ita sempat bercerita bahwa mantan pemain timnas Indonesia, Irfan
Barchdim ternyata berjemaat disana. Untuk sesaat, aku tampak membelalakkan
kedua mata, kaget sekaligus takjub itulah yang kurasakan pada saat detik
pertama setelah mendengar cerita dari I’Ita. Hmm.. Mungkin jika aku bertemu
dengan Irfan Barchdim, maka dengan tampang lugu, aku akan datang kepadanya,
meminta tanda tangan dan foto bersama dengannya. Hmm.. Aku jadi berpikir,
seandainya saja ada seseorang yang mau datang menghampiriku dan meminta tanda
tangan sekaligus foto bersama denganku. Aku pasti akan merasa sangat senang
sekaligus bangga terhadap diriku sendiri. Semoga saja suatu saat nanti Tuhan
bisa mewujudkan mimpi itu.
Sambil memikirkan persoalan tadi, aku memandangi
awan-awan di luar jendela mobil yang terkadang berubah-rubah bentuk mengikuti
arah kemana angin akan membawanya. Yah, itulah awan. Sama seperti kehidupan
yang terkadang di ombang-ambingkan oleh pilihan hidup. Ada pilihan yang baik
ada juga yang tidak. Sepandai-pandainya saja kita memilih.
Hingga pada akhirnya, tak kurasa lagi getaran mesin
mobil. Aku tersadar bahwa kami telah sampai di depan gereja. Ya, memang jarak
antara rumah Marsya dengan gereja sangat dekat maka dari itu tidak diperlukan
waktu lama untuk sampai ke gereja. Aku, Marsya dan I’Ita segera turun dari
mobil dan masuk ke dalam gereja, sementara Om Imanuel—papa dari Marsya—sibuk mencari
celah diantara mobil-mobil yang sudah berjejer panjang di parkiran
gereja.Tahukah engkau kawan? Disini, aku merasa bak seorang artis Hollywood karena disambut dengan karpet
merah panjang yang menyelimuti sepanjang jalan masuk ke gereja. Bedanya, kali
ini tidak ada paparazzi yang
mewawancarai atau sekedar mengambil gambar dari artis Hollywood yang datang.
Ketika kami telah sampai di ambang pintu gereja,
ternyata, sudah banyak jemaat yang hadir. Setelah, aku perhatikan memang benar
sebagian besar jemaat yang hadir disini adalah orang tua meskipun masih ada
juga beberapa anak kecil lainnya yang sedang duduk bersandar di kursi gereja,
di barisan depan tepatnya. Sementara, aku dan Marsya memilih untuk duduk di
kursi bagian belakang.
Selang beberapa menit kemudian, kebaktian natal pun
dimulai. Om Imanuel sudah berdiri di depan ratusan jemaat dengan pakaian
kebesarannya sebagai pendeta seperti biasa beliau mulai mengatakan salam
pembuka dan kemudian diikuti dengan berdoa. Sebelumnya, seluruh jemaat diminta
untuk berdiri dan memejamkan mata. Setelah selesai barulah semuanya duduk
kembali ke tempatnya masing-masing.
Untuk diawal acara, aku dan Marsya masih betah duduk di
dalam gereja. Tapi, lama-kelamaan bosan juga hingga akhirnya kami memutuskan
untuk bermain di suatu ruangan yang katanya digunakan setiap kebaktian hari
Minggu khusus bagi anak Balita. Di dalam ruangan itu, terdapat banyak kursi
yang saling bertumpu, sebuah air
conditioner dan beberapa jenis alat musik, aku dan Marsya menghabiskan
waktu dengan bermain dan bercerita sampai berjam-jam hingga pada akhirnya acara
kebaktian natal pun selesai.
Masing-masing jemaat pun akhirnya pulang ke rumah masing-masing
begitu juga dengan kami. Di tengah perjalanan pulang, I’Ita menawari kami untuk
pergi ke toko buku. Langsung saja kami berdua dengan semangat menganggukkan
kepala. Hmm.. Mungkin, sebagian orang mengatakan bahwa toko buku adalah tempat
yang membosankan karena sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah rak-rak
buku yang saling berjejeran rapi dengan buku dimana-mana. Tapi, anehnya aku
malah menyukai tempat yang satu itu bila sudah berada di sana aku langsung
sibuk membaca-baca sinopsis buku. Jika sudah dapat buku-buku yang menarik, maka
aku akan membawanya ke meja kasir untuk dibaca di rumah. Ya, itulah aku.
Jarak antara gereja dengan toko buku juga tidak terlalu
jauh karena sebenarnya toko buku itu juga terletak di dekat rumah Marsya. Kami
berdua diturunkan di depan salah satu toko buku terbesar di kota Malang. I’ita
dan Om Im berjanji bahwa mereka akan menjemput kami jika kami sudah puas
memilih dan membaca buku disana. Begitu mereka pergi, kami segera masuk ke
dalam dengan langkah girang dan langsung mencari bagian novel anak. Karena aku
dan Marsya sama-sama menyukai novel yang dibuat oleh anak-anak seusia kami.
Sesampainya disana kami langsung sibuk mencari buku yang menarik. Kalau aku sih
tidak membutuhkan waktu yang lama karena aku sudah menemukan sebuah buku yang
kuincar dari dulu. Sambil menunggu Marsya yang sedang bingung mencari buku, aku
terus memandangi buku karanganku yang juga terpajang disana. Aku tersenyum
sendiri sambil berbangga diri. Sejujurnya, sampai sekarang aku masih tak
menyangka bisa menjadi penulis cilik seperti diriku sekarang ini.
“Ci, bagusnya buku yang ini atau yang ini ya?” tanya
Marsya sambil menunjukkan dua buku di kedua tangannya. Aku langsung saja
memilih buku yang sebelah kanan dan rupanya Marsya pun setuju.
Ketika kami hendak meninggalkan bagian novel anak.
Tiba-tiba seorang Ibu datang sambil membawa buku karanganku ditangannya. Dengan
pandangan kagum, beliau bertanya, “Dek, adek penulis buku ini ya?”
DHEG! Aku langsung terdiam kaku. Rupanya, ada juga yang
mengenali wajahku disini. Mungkin, beliau sempat sepintas lalu melihat fotoku
yang berada di sampul belakang buku. Dengan pipi yang menyunggingkan senyum,
aku pun menganggukkan kepala kecil.
“Sudah sejak kelas berapa adek mulai menulis?” tanyanya
penuh antusias.
“Sejak kelas 7 SMP, Bu…” sahutku sopan.
“Oh.. dari mana asalnya, Dek? Dari Malang ya?” tanya Ibu
itu lagi.
“Bukan, Bu.. dari Brebes”
Ibu itu kini terdiam. Kemudian, datanglah seorang Bapak
dengan anak perempuannya menghampiri Ibu tadi. Rupanya, mereka adalah keluarga
yang juga sedang memilih-milih buku di toko itu.
Lalu, ibu itu berbicara kembali pada saya, “Saya boleh
minta waktunya nggak supaya anak saya bisa berfoto bersama dengan adek?”
Kejutan!
Ya, detik itu juga merupakan detik kejutan untukku. Saat
itu juga, seorang Ibu meminta secara langsung kepadaku untuk bisa menyempatkan
waktu berfoto bersama dengan anaknya. Tentu saja, dengan hati berbunga-bunga
aku menjawab, “Tentu saja boleh, Bu..”
Lalu, putrinya yang nampak malu-malu mulai berjalan
kepadaku dengan membawa bukuku. Dan, kami pun berfoto bersama. Selesai foto
bersama, ternyata kejutan belum selesai. Orang tua itu juga meminta supaya aku
menandatangani buku karyaku tersebut. Saat itu juga, aku benar-benar merasa
seperti seleb cilik dadakan! Mereka langsung datang ke meja kasir dan membayar
bukuku lalu langsung membuka segelnya dan memberikan sebuah pena agar aku bisa
menandatangani bukuku sendiri. Kedua orang tua tadi juga memintaku supaya
membuat kalimat motivasi kepada putrinya supaya bisa menjadi penulis cilik
sepertiku. Tentu saja aku menyetujuinya. Tahukah kawan? Saat itu juga, banyak
pegawai toko buku yang memandangku. Biarkanlah.. aku benar-benar tidak
memperdulikannya karena aku sedang merasa sangat senang saat itu. Kemudian,
setelah selesai, mereka pun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
padaku dan pamit pulang ke rumahnya.
“Cieeeee… artis dadakan nih..” ledek Marsya. Aku pun
hanya tersenyum malu.
Hari
itu, benar-benar hari yang menyenangkan sekaligus merupakan hari yang
bersejarah di sepanjang perjalananku sebagai seorang penulis cilik. Ketika aku diperlakukan
seperti seorang artis. Akhirnya, suatu mimpi yang kupikir hanyalah mimpi konyol
belaka benar-benar menjadi nyata sekarang! Aku benar-benar bersyukur kepada
Tuhan saat itu juga karena Ia telah membuat mimpiku menjadi nyata. Terima
kasih, Tuhan J
***
Eh itu penggunaan kata pas "Masakan keluarga pendeta tidak hadir di acara natal" kok kaya gimana gitu ya. Awalnya itu gue kira masakan=makanan. Hehe
BalasHapusbtw, itu cover buku karya kamu ya?
soswit hihi :D
BalasHapusitu buku lo? mau dong :D
@Junilinvasion : Yapz :D Hehehe
BalasHapuskak @irvina : Hahaha :D Aku deliverin ke toko bku terdekat aja ya, Kak :D Hahaha :e: