Kala, malam sedang ramai dengan suara jangkrik yang berkerik, bersahut-sahutan...
Di kala, bulan mulai berjaga dengan bintang disisi kanan kirinya
Bertebaran... Menggantung dan menghias langit httam kelam sana.
Aku terdiam.
Sendiri.
Di depan secangkir teh yang sudah mendingin.
Tak satu senti pun teh itu berkurang sejak aku membuatnya.
Mataku nanar.
Lagi-lagi memori terkutuk itu terulang kembali.
Pandanganku pun..
Memburam.
Pedih.
Gila! Ngapain juga aku ngliatin mereka berdua?
Dodol.
Harusnya, gue alihin aja pandangan gue waktu itu.
Lagian, cewek itu sebenernya siapa sih?
Mereka itu ada hubungan apa?
Sahabatan? Temenan? Kelompok kerja?
Atau...
Pacaran?
"Tink? Lo dengerin gue gak sih?"
PACARAN???
"Yaelah, gue dicuekin. KACANG WOY KACANG!"
Nggak.. Nggak.. Nggak mungkin.
Tuh kan.. gue jadi kepikiran lagi.
"Woy! TINK!"
Aku menggeram. Menatap-nya dengan tajam. Tatapan yang kusesali. "Berisik amat sih."
"Ciah. Marah dia. Harusnya, gue yang marah. Dicuekin mulu."
Aku diam. Dia menghela napas. Panjang. Aku mendiamkannya. Selama beberapa menit kemudian, dia pergi. Masuk ke dalam rumah. Kupikir, dia marah karena aku mengabaikannya. Namun, nyatanya, dia kembali lagi menemuiku. Kali ini, bersama dengan dua cangkir teh hangat dan asap mengepul di atasnya. Dia menyodorkan satu cangkirnya padaku.
Aku menatapnya.
Dia.
Tersenyum.
Astaga.
Merasakan getir samar dalam denyutku yang waktu itu tak kuakui keberadaannya. Dengan ragu-ragu, aku menerima cangkir teh itu. Menyentuhnya. Merasakan kehangatan yang seketika menjalar bahkan sampai ke lubuk hatiku. Menciptakan rasa aman dan nyaman yang cukup aneh, namun kuyakin nyata keberadaannya.
"Kalau lagi suntuk, minum teh anget aja. Biar anget." celetuknya. Meneguk teh yang berada di cangkirnya.
Aku kali ini tersenyum, tidak manyun seperti tadi. Ikut menyeruput teh, tak mau kehangatannya hilang. Mendalami rasa manis, hangat serta sedikit pahit yang bercampur padu. Melahirkan sebuah cita rasa yang amat mendamaikan. Sungguh. Seumur-umur, baru kali ini, aku begitu menikmati saat-saat menikmati teh hangat di malam hari.
Tanpa sadar, tatapanku jatuh pada pandangan matanya yang meneduhkan. Getir samar itu kembali hadir. Secara tiba-tiba, dia menatapku balik. Aku menunduk kikuk. Mengelus tengkuk.
"Tink..."
"Hmm?" sahutku.
"Kamu kan cewek. Kamu pasti tahu betul dong ya perasaan cewek."
"Kenapa emang?" tanyaku penasaran. Aku ingat, dia pernah cerita kalau dia punya cewek incarannya sendiri.
"Ya begitulah. Gue berasa hantu kalau sama dia. Walaupun tubuhnya dia sama gue, tapi hati sama pikirannya gak sama gue. Yah.. begitulah kira-kira."
"Klo cewek itu nyakitin lo ngapain lo masih ngincer dia?"
"Nggak tau. Walaupun nyakitin, tapi, anehnya gue seneng ngejalanin itu semua. Ngehibur dia, buat dia senyum, ketawa, jadi tempat curhatnya tentang 'gebetan'-nya dia sendiri."
"Lo sayang banget ya sama dia?" tanyaku. Anehnya, ada denyut kecewa yang entah muncul darimana.
Dia menatapku. Cukup lama. Sebelum akhirnya mengangguk. "Banget."
"Kalau dia gak suka sama lo terus lo-nya gimana?"
"Gak tau."
Kamu bohong.
Padahal, waktu itu, kamu udah mulai mikirin hal itu kan?
Tentang bagaimana kalau si 'cewek' itu gak suka sama kamu dalam jangka waktu yang lama?
Tapi...
Tapi kenapa kamu malah memilih jalan ini?
Kenapa?
Tidak bisakah kita memulai semuanya dari awal lagi?
Hmm?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar