Senin, 02 November 2015

Secangkir Kopi.


Hai, para penikmat kopi.
Para penikmat malam.
Para penikmat hujan.
Dan, para penikmat sunyi.


Barangkali, ada sebagian di antara kamu yang merindu.
sebagian di antara kamu yang sedang merasa sendu.
sebagian di antara kamu yang sedang merasa hampa.
Kesepian?

Marilah datang bersua..

Bukankah sudah lama sekali kau membutuhkan teman berbicara?
Teman bercerita?

Sudah berapa lama kau menangis sendirian di balik pintu yang tertutup rapat dan kegelapan yang mencekat itu?

Kemarilah. Biarkan aku menemanimu, Sayang.
Jangan terlalu lama sendiri di dalam kegelapan.
Keluarlah dari balik pintu itu.

Kemarilah, Sayang.

Hapus air matamu.
Tak apa. Kau tak usah memaksakan senyummu padaku.
Jika kau tidak ingin tersenyum. Tak apa.
Aku tak masalah.

Minumlah secangkir kopi yang sudah kuhidangkan ini.
Pahitnya akan mengingatkanmu pada kesedihanmu,
lukamu di saat kamu mencintai orang lain,
kehampaanmu di saat kamu sendirian di dalam gelap,
kehilanganmu di saat kamu mengharapkan mereka berada di sisimu,

Namun, jangan lupa pada rasa manis yang ia tawarkan pula padamu.
Manisnya akan mengingatkanmu pada masa-masa indahmu bersama sahabat,
pelukan hangat penuh cinta dari sahabat,
pandangan yang menenangkan hati dari sahabat,

Kemarilah.
Aku juga sendirian.
Aku membutuhkanmu menemaniku di sini. Sebentar saja.
Aku ingin bercerita :)

Hai, Sayang.
Kau tahu? Belakangan ini, aku merasa orang-orang menjauhi aku dalam sekejap.
Seorang teman yang dulu sempat beberapa kali mengirimiku pesan untuk sekedar melontarkan pertanyaan sederhana, "Hai, apa kabar?"
Sekarang, sudah tidak terdengar lagi kabarnya.
Terakhir, aku mengirimi dia pesan. Hanya berujung pada pemberitahuan bahwa pesanku sudah terbaca olehnya. Setelah itu, kami tidak pernah berkirim pesan lagi.
Sayang, padahal dulu dia sempat berjanji padaku. Apabila aku membutuhkan teman mengobrol di malam hari, tidak usahlah aku sungkan mengiriminya pesan dan mengajak dia berbicara semalaman suntuk.
Namun, Sayang. Dia mengingkari janjinya. Tanpa sebab dan tanpa alasan yang jelas.
Perlahan, dia pergi. Menjauh.

Beberapa hari yang lalu pula, saya juga menerima pesan hampir seperti makian.
Cukup menyakitkan memang apalagi mengingat si pengirim memiliki hubungan keluarga dengan saya.
Dia mengeluh bahwa saya hanya merepotkan dia saja.
Dia mengeluh bahwa saya hanya menyusahkan dia saja.
Saya yang membaca pesan tersebut secara spontan menjatuhkan air mata.
Bagaimana bisa dia menghina usaha saya yang sedang berusaha meraih cita-cita ini?

Hampir setiap hari, saya merasa kehadiran saya kurang dapat diterima oleh orang-orang di sekitar saya. Saya merasa bahwa diri saya bagaikan manusia yang diharapkan untuk menghilang begitu saja dari pandangan mereka. Entah, saya merasa yakin bahwa suatu saat saya menghilang tanpa kabar pun mereka tidak akan merasa kehilangan saya.

Oh, tunggu. Kenapa tiba-tiba aku menggunakan kata 'saya'? Haha.

Oke, tidak penting. Kembali pada cerita.

Entah ada perasaan iri merasuk dalam hati. Ketika saya membaca salah satu status sang Ibu pada anaknya yang sedang bepergian sebentar. Disitu, sang Ibu menulis, "Miss you Noni." Terus terang, saya juga ingin dirindukan kehadirannya oleh seseorang. Saya pasti akan tersenyum bahagia apabila melihat tulisan bertuliskan kerinduan terhadap saya ditulis oleh keluarga atau sahabat. Akan tetapi, sayangnya, kehadiran saya tidak sepenting itu :)

Setiap malam, setiap saya berbaring di atas kasur. Bersama dengan gelap, saya menceritakan hal-hal apa saja yang terjadi pada saya hari itu. Seringkali, saya bercerita sembari mengeluarkan air mata. Sesekali, saya rindu bercerita pada keluarga, pada sahabat. Akan tetapi, entahlah, mereka kelihatannya terlalu sibuk untuk itu. Hingga saya berakhir untuk bersama dengan kegelapan dan menceritakan banyak hal. Tentu, tidak ada suara yang menimpali cerita saya. Tidak ada yang tertawa bersama dengan saya. Tidak ada yang menangis bersama dengan saya. Tidak ada yang dapat menghibur saya ketika sedih. Setidaknya saya merasa bahwa saya sedang menceritakannya pada seseorang. Setidaknya, saya merasa sedang didengarkan walau tanpa tanggapan :) Akan tetapi, saya berbohong jika saya mengatakan bahwa saya bahagia melakukannya. Seringkali, tiap saya berbicara pada gelap, hati saya bertanya-tanya, "Mengapa saya selalu sendirian?" Seakan pertanyaan itu merupakan butiran-butiran garam yang ditaburkan di atas luka basah, terkadang terasa sangat menyakitkan.

Kau tahu, Sayang?
Saya bahkan pernah bertanya-tanya pada Tuhan, "Apabila orang-orang yang kusayangi tidak menganggapku 'ada' atau bahkan tidak peduli apakah aku membutuhkan mereka atau tidak, mengapa aku masih hidup di Dunia ini? Jikalau setiap hari aku hanya merasakan luka, luka, dan luka?"

Kau tahu, Sayang?
Bahkan ketika saya merasa sedih dalam hati pun, beberapa teman mengejek kesedihan saya lalu menertawakannya. Saya kemudian berpikir: apakah bagi orang lain melihat saya kesepian, sekarat merupakan bahan lelucon yang sangat lucu bagi mereka? Mengapa mereka begitu kejam pada saya?

Apa salah saya?



Sayang, menceritakan dan bahkan memikirkan hal ini bagi saya seperti mengorek luka yang belum kering. Masih terasa nyeri, terasa sakit. Sangat sakit. Akan tetapi, saya tetap membutuhkan teman untuk membagikannya. Bukan untuk membagikan rasa sakit, tetapi setidaknya saya tahu, ada seseorang yang sudah mendengarkan cerita saya. Kesedihan saya. Terima kasih. Terima kasih banyak.


Saya boleh saja sendirian. Tapi, orang baik seperti kamu, tidak pantas untuk sendirian :) Cukup saya saja yang menjadi teman kegelapan. Kamu jangan. Saya orangnya pencemburu :) Jangan suka mengadu pada kegelapan. Jangan suka menangis padanya. Dia teman saya satu-satunya di setiap malam menjelang dan sakit hati mulai meradang.


Tidak apa-apa saya kesepian. Tidak apa-apa kalau orang lain tidak mempedulikan saya.

Tapi, Kamu jangan.




Terima kasih sudah mendengar cerita saya malam ini.
Di malam yang larut seperti ini.
Kembalilah, tidur.
Terima kasih sudah mendengarkan cerita saya. Terima kasih :)
Terima kasih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar