Saat jari-jemarimu menari di atas wajahku dengan lembut,
perlahan
Saat kedua matamu menatapku dalam,
Sampai rasanya napasku turut terenggut
Jantungku berdebar tak karuan,
Waktu seakan berhenti sejenak,
‘Tuk membiarkanku memandangmu lebih lagi
Setiap detail pada wajahmu: kelopak matamu, lekuk bibirmu,
garis wajahmu, semuanya.
Meski sudah tak terhitung aku melakukannya
Mengapa semakin
kupandang wajahmu, semakin sempurna pula engkau di mataku?
Mengapa aku tak bisa berhenti memanggil namamu?
Oh! Oh!
Jantungmu…
….aku dapat mendengar debaran jantungmu sekarang.
‘Hampir’ sama seperti debaran jantungku setiap kali
melihatmu.
Kata orang, kau hanya berdebar ketika sedang berhadapan
dengan orang yang kau cintai.
“Lastri, aku sudah mencintaimu dari dulu.”
Kedua mataku terbelalak.
Jantungku berdebar makin tak karuan.
“Kamu… mau jadi perempuanku tidak?”
Suara dalam hatiku berteriak-teriak keras, “MAU! MAU! MAU!”
Suara dalam hatiku berteriak-teriak keras, “MAU! MAU! MAU!”
Lalu, dia tertawa. Pipinya merona merah “Bagaimana
menurutmu, Gea?”
Ah, benar. Aku bukan Lastri, aku hanya Gea yang sedang
berperan menjadi Lastri.
Aku hanya ‘pengganti’ Lastri, untuk bahan latihan dia
menembak Lastri.
Hampir saja aku berpikir bahwa debaran jantungnya tadi
untukku.
Ternyata tidak.
Ketika setiap detak jantungku memanggil namamu,
detak jantungmu justru memanggil wanita lain.
Mungkin, karena itulah irama jantung kita tak pernah sama.
“Bagus. Aku yakin Lastri akan menerimamu. Kupikir, dia juga
mencintaimu.”
…meski aku yakin
perasaan cintanya tak sebesar perasaan cintaku ke kamu, tentu saja aku
berkata dalam hati.
“Oh ya?” Dia tersenyum sumringah lalu memelukku, “Kau memang
sahabatku yang terbaik!”
Ah ya, sahabat.
Tak apalah jika dia bersama Lastri.
Asalkan aku sudah bisa menjadi sahabatnya,
Itu sudah cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar