Jumat, 17 Juni 2016

Kontemplasi di Malam Hari

Aku melihat tangan raksasa itu tumpahkan tinta hitamnya ke atas langit hingga perlahan-lahan mengubahnya menjadi warna hitam. Ditebarkan-Nya manik di atas gumpalan awan berwarna hitam itu hingga disebutnyalah oleh manusia sebagai bintang. Satu manik yang paling berbeda di antara manik lainnya ditaruh di antara mereka. Berwarna putih dan bercahaya sehingga dinamai-Nya manik itu bulan.
Genderang mulai ditabuh. Bukan genderang perang yang menimbulkan keramaian atau kekacauan. Tetapi, genderang yang justru mematikan kebisingan di Bumi. Seakan sang penabuh genderang itu tahu benar bahwa manusia di bumi sudah lelah, membutuhkan istirahat setelah sepanjang pagi sampai sore berperang.
Hingga, pada saat itu.
Pada malam yang sunyi itu.
Ketika seluruh manusia sedang tertidur lelap dalam dekapan mimpinya masing-masing.

Aku justru terjaga.

Perlahan-lahan, air mataku menurun dari mata. Membasahi permukaan tempatku duduk sekarang. Awalnya, aliran air mata tersebut terasa pelan namun lama kelamaan aliran air mata itu semakin deras, kencang. Seakan dalam setiap butirnya itu tersimpan luka, kesesakan, dan duka.

Mengingat sesosok teman yang dulu terasa sangat dekat seperti saudara kandung sendiri.
Sesosok teman yang kedatangannya bahkan lebih heroik dibandingkan pahlawan lain.
Sesosok teman yang sosoknya selalu aku nanti-nantikan...

"Kamu masih belum mengikhlaskannya?" tiba-tiba terdengar sebuah suara, yang hikmatnya terdengar menggetarkan sekujur tubuhku.

Belum. Memang belum.

Aku menangis lebih kencang. Lebih kencang, lebih kencang, dan lebih kencang lagi. Sampai rasanya tangisanku dapat merusak ketenangan para malaikat yang sedang bersenda gurau di atas sana.

Kemudian, aku menggigit bibirku sendiri sampai kulit-kulitnya terbuka dan mengeluarkan sedikit darah.

Amis.
Pahit.

"Dia... Aku sangat menyanyangi dia... Tapi, mengapa... Mengapa dia meninggalkan aku? Tanpa alasan yang jelas. Tanpa ucapan selamat tinggal yang pantas."

"...."

"KENAPA?" lalu, aku berteriak. Tidak tahu kepada siapa. Yang jelas aku ingin berteriak saja. Seakan dengan berteriak aku mampu melepaskan sakitku. Teringat bagaimana secara tiba-tiba, dia meninggalkanku begitu saja. Teringat bagaimana dirinya yang bersikap dingin, tak sehangat dulu. Teringat bagaimana dirinya yang berubah menjadi sesosok yang tak lagi kukenal. Teringat bagaimana dia yang melangkah pergi tanpa bibirnya yang mengucapkan sepatah atau dua patah kata padaku.

Luka yang pernah ada dan sempat mengering pun terbuka kembali.
Luka yang tidak seberapa dibandingkan dengan luka di bibir yang kurasakan sekarang
Luka yang tidak tahu kapan sembuhnya

"Kau tentu memiliki kenangan yang indah bersama dengan dia bukan?" tanya-Nya.

Aku tidak menjawab. Namun, hatiku jelas-jelas menjawab "Ya" dengan lantang. Kenangan bersama dengan dia kemudian berkelebat, bagaikan film dokumenter usang yang diputar.

Perlahan-lahan, senyumku pun tersungging tipis di wajah.

"Tersenyumlah seperti itu tiap kali kamu mengingatnya, anak-Ku."

"Tapi..."

"Kamu harus mengikhlaskannya."

"Bagaimana aku tahu kalau aku sudah mengikhlaskannya?"

"Jika kau sudah berhasil menyingkirkan kenangan buruk bersama dengan dia dalam pikiranmu. Dan, hanya jika kau dapat dengan tulus mendoakan dia, anak-Ku."

"..."

"Apabila kau mengikhlaskannya, kau sendiri yang akan merasakan kebahagiaannya. Kau akan mampu menenangkan hatimu sendiri yang sedang memberontak, mengerang kesakitan. Ikhlaskan dia, anak-Ku."

Denyut dalam dadaku mulai tidak lagi terasa. Tetesan air mata itu tetap ada, meski kali ini kembali jatuh perlahan, tenang. Memikirkan kembali perkataan dari Pencipta yang membuatku tersadar bahwa tidak ada gunanya aku menyesali kenangan yang selama ini aku punya bersama dengan dia. Tidak ada gunanya pula aku mengutuk dan mengucapkan sumpah serapah.

Aku hanya perlu mengikhlaskan kepergiannya.

Aku hanya perlu mengingat kenangan indah bersama dengan dia, tanpa mengingat luka yang diberikan.
Aku hanya perlu mengingat tawa bahagia ketika bersama dengan dia, tanpa mengingat tangis ketika dia memutuskan untuk pergi.

Karena, aku percaya, Dia akan menggantikan orang terbaik dalam kehidupanku dengan orang lain yang jauh lebih baik lagi.
Karena, aku percaya, kalau dia yang terbaik, Tuhan tidak akan mungkin mengambil dia.
Mungkin saja dia bukanlah yang terbaik untukku.
Mungkin juga aku bukanlah yang terbaik untuk dia.

Terima kasih.
Untuk semua orang yang sudah singgah dalam kehidupanku
Dan mengenalkan warna baru dalam kehidupan yang belum pernah aku ketahui sebelumnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar