Minggu, 16 September 2018

Kerumpangan dalam hubungan yang rampung

Sejak mengenalmu, kriteria cowokku jadi tinggi.
Kau tahu sendiri
Dulu, aku sukanya dengan cowok-cowok brengsek.
Walaupun--untungnya--, cowok-cowok brengsek itu tidak mau bersamaku.
Waktu aku cerita kalau aku suka dengan cowok brengsek, kamu selalu berdecak.
"Ck. Kenapa dia sih?"
Hingga suatu waktu, aku menyerah untuk menyukai cowok brengsek.
"Duh, kenapa sih aku selalu gagal mendapatkan cowok?"
"Ya, kamu, sih. Suka marah-marah gitu. Siapa juga cowok yang mau."
"Maksudmu, aku bakalan jadi janda tua begitu?"
"Bukan. Maksudku, kalau sampai umur 25 tahun dan kamu belum menikah. Biar aku sendiri yang melamarmu."
Air yang baru saja kutenggak langsung muncrat keluar, berhamburan kemana-mana. Kamu mengatakan itu dengan raut wajah serius, tanpa ekspresi bercanda seperti biasanya.
Sekarang, umurku sudah 20 tahun menjomblo. Kalau aku tetap menjomblo sampai 5 tahun lagi, kamu akan melamarku.
Tapi, sayang, sepertinya aku akan benar-benar menjadi janda tua.
Karena, nyatanya, kamu sudah pergi menuju tempat persinggahan terakhir setiap umat manusia.
Aku tidak menyesal karena gagal dilamar olehmu.
Yang aku sesali hanyalah diriku yang belum sempat menyatakan bagaimana jantungku berdetak 100x lebih cepat sewaktu kamu menemuiku dalam keadaan menangis, dan kamu langsung bilang, "Kutemani, ya." lalu duduk di sampingku persis hingga tangisku mereda, bagaimana senyumku mengembang tiap kali mengingat setiap momen sederhana yang kita habiskan bersama--sesederhana ketika kita membahas tugas sekolah bareng di kantin, bagaimana otakku masih mengulang memori tentangmu--garis wajahmu, suaramu, kebiasaanmu.
Sebagai gantinya, aku selalu menyebutkan namamu dalam doaku setiap hari. Kupikir, biar saja penghuni sorga bosan mendengarkanku menyebutkan namamu seperti kamu yang tidak pernah bosan mengadapi sikap kekanakan dan temperamentalku.

Terima kasih,
dan
Selamat jalan,
Sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar