Sabtu, 11 Juli 2015

Tentang Sahabat: Papa



Kemarin malam, sekitar jam setengah 12, saya dengan papa saya menyelesaikan obrolan kami berdua mengenai sahabat. Tentu saja, saya lebih banyak menyampaikan kegundahan saya dalam hubungan pertemanan serta sosial saya sedangkan papa saya lebih banyak menyampaikan nasihat-nasihatnya yang setidaknya cukup membuat saya tenang.
Kemarin malam pula, saya berhasil melewatinya TANPA satu tetes air mata.
Bagi kalian, mungkin hal ini adalah hal biasa. Bagi saya, sama sekali tidak. Sebab seperti yang telah kalian ketahui sendiri bahwa hampir setiap hari saya rasanya menangis karena hal-hal yang sebenarnya sepele: being abandoned, alone. 2 masalah itu sepele bukan? Tergantung bagaimana cara kita menanggapinya.
Akan tetapi, pada kesempatan kali ini, saya tidak bercerita mengenai sahabat saya atau perasaan-perasaan galau. Saya akan bercerita mengenai hubungan persahabatan papa saya.

Papa saya berasal dari kampung. Pada masa kecilnya, beberapa tahun yang lalu, belum terdapat handphone sehingga beliau lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain di luar rumah bersama teman-teman dekatnya. Papa saya menyebut sahabat-sahabatnya dengan sebutan yang aneh seperti: Keong, Embing, dan Gentong serta beberapa teman perempuan lain berinisial Y.
Di jalanan yang saya yakin belum diberi aspal itu, papa saya beserta dengan teman-temannya bermain apa saja yang bisa dimainkan. Salah satu permainan yang saya tahu adalah permainan ‘menabrakkan’ tutup botol. Pertama-tama, perlu dibuat suatu medan permainan terlebih dahulu dalam bentuk lingkaran besar. Masing-masing pemain harus memiliki tutup botolnya masing-masing lalu meletakkannya di dalam lingkaran. Pemain yang berhasil menabrakkan tutup botol lawan sampai keluar dari garis lingkaran akan keluar menjadi pemenang.
Ada lagi aktivitas mereka yang lain, mencari katak, misalkan. Pernah sekali waktu mereka mendatangi sebuah rumah kosong lalu menemukan seekor katak di dalam sana sehingga mereka pun berusaha mendapatkannya. Ketika katak itu sudah berada dalam genggaman tangan, Y menyimpan katak itu dalam rumahnya. Keesokan harinya, ketika mereka bersua kembali, Y bercerita bahwa kemarin malam dia bermimpi bertemu sesosok hantu dan terdapat katak itu di dalam mimpinya. Sehingga, mereka semua pun memutuskan untuk mengembalikan katak itu kembali ke rumah hantu.
Sampai waktu bergilir dengan cepat, papa saya pun berpisah dengan teman-teman sepermainannya. Sekali waktu, papa saya pernah bertemu dengan Embing. Dilihatnya Embing sudah bekerja di tempat fotocopy. Setelah itu, dalam waktu yang sangat lama, papa tidak bertemu lagi dengan Embing ataupun dengan yang lain juga. Mereka semua kehilangan kontak antara satu dengan yang lain.
Pada suatu waktu, ketika kami sekeluarga berlibur ke Kota Surabaya, papa pun merindukan mereka. Bersama denganku, papa mencari alamat tempat tinggal sahabatnya menurut informasi terakhir yang beliau dapat.
Matahari sedang panas-panasnya saat itu, berbekal dengan kendaraan motor, saya dan papa memasuki gang sempit. Melihat kehidupan dari sisi lain Kota Surabaya yang luarnya penuh dengan kemewahan dan kemegahan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Timur. Dengan modal bertanya dari tetangga yang satu dengan yang lain, kami menelesurinya dari satu rumah ke rumah lain. Memakan banyak waktu, memang. Tapi, siapa yang dapat menahan perasaan rindu dari seorang sahabat kepada sahabat masa kecilnya yang lalu? Memang, terkadang, untuk bertemu dengan orang yang kita sayangi setelah lama tidak bersua itu memerlukan sedikit pengorbanan yang lebih.
Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya, kami pun menemukan titik terang, Akan tetapi, pada saat itu, kami memutuskan untuk menunda acara temu kangen antara dua sahabat ini karena menurut informasi pada waktu sekarang ini tidak akan ada orang yang berada di dalam rumah. Euhm.. Ralat. Tidak hanya dua sebenarnya tetapi empat. Karena, rumah sahabat yang mau ditemui ini merupakan 3 bersaudara yang sama-sama merupakan sahabat masa kecil papa dan mereka tinggal dalam satu rumah—Gentong, Embing, dan Y. Selain mendapatkan informasi mengenai keberadaan rumah sahabatnya, papa juga mendapati informasi lain. Seperti profesi Embing menjadi loper koran.
Karena sesuatu hal, akhirnya, penundaan itu tidak hanya terjadi selama beberapa hari tetapi juga dalam hitungan tahun.
Ketika masa itu tiba, masa dimana akhirnya kerinduan yang membuncah dalam dada itu dapat terkabul keinginannya, papa menemui suatu kenyataan lain yang menyedihkan dari sahabatnya.
Salah satu di antara mereka menjadi kehilangan kewarasannya akibat kebutaan yang dialami karena ada suatu hal yang salah dalam tubuhnya. Sahabatnya ini tidak dapat menerima kenyataan sehingga dia pun berakhir dengan penyakit kejiwaan. Dia sudah tidak ingat lagi dengan papa yang sewaktu kecilnya memiliki hubungan yang sangat akrab akan tetapi dia masih bisa bercerita bagaimana kebuataan itu didapatkannya, kemarahannya pada dokter yang tidak dapat menemukan solusi tepat untuk mengembalikan kondisi matanya seperti semula, ketidakterimaannya pada takdir, hingga pada puncaknya dia sampai pada tingkat depresi berat; berbicara melantur dan suka tertawa sendiri.
Menurut penggambaran papa, rumah mereka sangat kecil. Hanya seukuran 3 kali kamar saya tetapi harus ditinggali oleh banyak orang. Lebih dari 5 orang. Si Y beserta kedua anaknya juga terpaksa menumpang di rumah Gentong karena suami Y telah meninggalkannya.
Intinya, saat ini, keluarga mereka sangat membutuhkan bantuan keuangan untuk menopang kehidupan sehari-hari. Keluarga saya sendiri bukanlah keluarga yang berlebihan sehingga dapat membantu mereka dengan lebih. Yang hanya bisa dilakukan oleh papa hanyalah berdoa seraya mencarikan pekerjaan untuk mereka.
Dengan sedikit usaha, papa pun berhasil mendapatkan tawaran pekerjaan untuk mereka. Hanya saja, ketika nomer telepon Gentong dihubungi tidak pernah ada satu pun panggilan yang diangkat. Keempat sahabat ini pun kembali kehilangan kontak.
Dari cerita papa mengenai sahabat-sahabatnya memberikan saya arti tentang persahabatan yang sebenarnya. Bagaimana seorang sahabat itu tetap mencari sahabatnya yang lain ketika telah kehilangan kontak dengan mereka, bagaimana seorang sahabat memang sudah seharusnya membantu sahabatnya yang sedang kesusahan dan tidak lari begitu saja, sahabat yang turut merasakan kesusahan-kesusahan yang dialami oleh seorang sahabatnya.
Saya tidak mendapati perasaan menyesal terlukis pada wajahnya karena pernah berteman dengan mereka. Ketika beliau menceritakan kenangan-kenangannya terdapat sebuah senyum tersungging pada wajah keriputnya.
Saya belajar bagaimana sahabat yang baik selalu tetap ‘tinggal’ dalam hati di saat teman-teman baru berdatangan pada hidupnya. Bukan berarti kita tidak bisa move on, tetapi bagaimana caranya pula kita mempertahankan seseorang yang membuat kita merasa ‘nyaman’. Bagaimana caranya kita dapat berhubungan dengan yang baru tanpa meninggalkan yang ‘lama’. Untuk melakukannya tidak semudah kedengarannya karena itulah tantangannya. Bukankah manusia selalu merasa bahwa yang baru akan lebih baik dibandingkan yang lama?
Saya pun jadi teringat pada kutipan yang mengatakan bahwa ketika kita mencari yang ‘sempurna’, maka kita akan kehilangan yang ‘terbaik’.
Dan, saya tidak mau itu terjadi.
Saya kemudian membayangkan, mungkin suatu saat nanti akan tiba saatnya dimana saya akan bercerita mengenai sahabat saya pada anak saya suatu saat nanti dengan wajah tersenyum, mengingat betapa banyaknya pula pengalaman berharga entah itu menyedihkan atau membahagiakan yang telah saya lakukan bersama dengan sahabat saya.
Sahabat… adalah orang yang telah memberikan warna tersendiri dalam hidup kita. Sahabat, adalah orang yang turut menyaksikan perjalanan hidup kita. Sahabat sejati statusnya bukan hanya sebagai ‘teman’ tetapi jiwanya juga mampu ‘berkeluarga’ dengan kita. Sahabat adalah teman yang akan berjuang, menopang kita ketika kita sedang terjebak dalam kekalutan hati. Sahabat sejati tidak pernah menyerah untuk kita. Karena kasihnya pun merupakan kasih yang sejati, yang akan bertahan lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar