Kemarin malam, sekitar
jam setengah 12, saya dengan papa saya menyelesaikan obrolan kami berdua
mengenai sahabat. Tentu saja, saya lebih banyak menyampaikan kegundahan saya
dalam hubungan pertemanan serta sosial saya sedangkan papa saya lebih banyak
menyampaikan nasihat-nasihatnya yang setidaknya cukup membuat saya tenang.
Kemarin malam pula,
saya berhasil melewatinya TANPA satu tetes air mata.
Bagi kalian, mungkin
hal ini adalah hal biasa. Bagi saya, sama sekali tidak. Sebab seperti yang
telah kalian ketahui sendiri bahwa hampir setiap hari saya rasanya menangis
karena hal-hal yang sebenarnya sepele: being
abandoned, alone. 2 masalah itu sepele bukan? Tergantung bagaimana cara
kita menanggapinya.
Akan
tetapi, pada kesempatan kali ini, saya tidak bercerita mengenai sahabat saya
atau perasaan-perasaan galau. Saya akan bercerita mengenai hubungan
persahabatan papa saya.
Papa saya berasal dari kampung. Pada masa kecilnya, beberapa tahun yang lalu, belum terdapat handphone sehingga beliau lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain di luar rumah bersama teman-teman dekatnya. Papa saya menyebut sahabat-sahabatnya dengan sebutan yang aneh seperti: Keong, Embing, dan Gentong serta beberapa teman perempuan lain berinisial Y.
Di jalanan yang saya
yakin belum diberi aspal itu, papa saya beserta dengan teman-temannya bermain
apa saja yang bisa dimainkan. Salah satu permainan yang saya tahu adalah
permainan ‘menabrakkan’ tutup botol. Pertama-tama, perlu dibuat suatu medan
permainan terlebih dahulu dalam bentuk lingkaran besar. Masing-masing pemain
harus memiliki tutup botolnya masing-masing lalu meletakkannya di dalam
lingkaran. Pemain yang berhasil menabrakkan tutup botol lawan sampai keluar
dari garis lingkaran akan keluar menjadi pemenang.
Ada lagi aktivitas
mereka yang lain, mencari katak, misalkan. Pernah sekali waktu mereka
mendatangi sebuah rumah kosong lalu menemukan seekor katak di dalam sana
sehingga mereka pun berusaha mendapatkannya. Ketika katak itu sudah berada
dalam genggaman tangan, Y menyimpan katak itu dalam rumahnya. Keesokan harinya,
ketika mereka bersua kembali, Y bercerita bahwa kemarin malam dia bermimpi
bertemu sesosok hantu dan terdapat katak itu di dalam mimpinya. Sehingga,
mereka semua pun memutuskan untuk mengembalikan katak itu kembali ke rumah
hantu.
Sampai waktu bergilir
dengan cepat, papa saya pun berpisah dengan teman-teman sepermainannya. Sekali
waktu, papa saya pernah bertemu dengan Embing. Dilihatnya Embing sudah bekerja
di tempat fotocopy. Setelah itu, dalam
waktu yang sangat lama, papa tidak bertemu lagi dengan Embing ataupun dengan
yang lain juga. Mereka semua kehilangan kontak antara satu dengan yang lain.
Pada suatu waktu,
ketika kami sekeluarga berlibur ke Kota Surabaya, papa pun merindukan mereka.
Bersama denganku, papa mencari alamat tempat tinggal sahabatnya menurut
informasi terakhir yang beliau dapat.
Matahari sedang
panas-panasnya saat itu, berbekal dengan kendaraan motor, saya dan papa
memasuki gang sempit. Melihat kehidupan dari sisi lain Kota Surabaya yang
luarnya penuh dengan kemewahan dan kemegahan sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa
Timur. Dengan modal bertanya dari tetangga yang satu dengan yang lain, kami
menelesurinya dari satu rumah ke rumah lain. Memakan banyak waktu, memang.
Tapi, siapa yang dapat menahan perasaan rindu dari seorang sahabat kepada
sahabat masa kecilnya yang lalu? Memang, terkadang, untuk bertemu dengan orang
yang kita sayangi setelah lama tidak bersua itu memerlukan sedikit pengorbanan
yang lebih.
Setelah memakan waktu
yang cukup lama, akhirnya, kami pun menemukan titik terang, Akan tetapi, pada
saat itu, kami memutuskan untuk menunda acara temu kangen antara dua sahabat
ini karena menurut informasi pada waktu sekarang ini tidak akan ada orang yang
berada di dalam rumah. Euhm.. Ralat.
Tidak hanya dua sebenarnya tetapi empat. Karena, rumah sahabat yang mau ditemui
ini merupakan 3 bersaudara yang sama-sama merupakan sahabat masa kecil papa dan
mereka tinggal dalam satu rumah—Gentong, Embing, dan Y. Selain mendapatkan
informasi mengenai keberadaan rumah sahabatnya, papa juga mendapati informasi
lain. Seperti profesi Embing menjadi loper koran.
Karena sesuatu hal, akhirnya,
penundaan itu tidak hanya terjadi selama beberapa hari tetapi juga dalam
hitungan tahun.
Ketika masa itu tiba,
masa dimana akhirnya kerinduan yang membuncah dalam dada itu dapat terkabul
keinginannya, papa menemui suatu kenyataan lain yang menyedihkan dari
sahabatnya.
Salah satu di antara
mereka menjadi kehilangan kewarasannya akibat kebutaan yang dialami karena ada
suatu hal yang salah dalam tubuhnya. Sahabatnya ini tidak dapat menerima
kenyataan sehingga dia pun berakhir dengan penyakit kejiwaan. Dia sudah tidak
ingat lagi dengan papa yang sewaktu kecilnya memiliki hubungan yang sangat
akrab akan tetapi dia masih bisa bercerita bagaimana kebuataan itu
didapatkannya, kemarahannya pada dokter yang tidak dapat menemukan solusi tepat
untuk mengembalikan kondisi matanya seperti semula, ketidakterimaannya pada
takdir, hingga pada puncaknya dia sampai pada tingkat depresi berat; berbicara
melantur dan suka tertawa sendiri.
Menurut penggambaran
papa, rumah mereka sangat kecil. Hanya seukuran 3 kali kamar saya tetapi harus
ditinggali oleh banyak orang. Lebih dari 5 orang. Si Y beserta kedua anaknya
juga terpaksa menumpang di rumah Gentong karena suami Y telah meninggalkannya.
Intinya, saat ini,
keluarga mereka sangat membutuhkan bantuan keuangan untuk menopang kehidupan
sehari-hari. Keluarga saya sendiri bukanlah keluarga yang berlebihan sehingga
dapat membantu mereka dengan lebih. Yang hanya bisa dilakukan oleh papa
hanyalah berdoa seraya mencarikan pekerjaan untuk mereka.
Dengan sedikit usaha,
papa pun berhasil mendapatkan tawaran pekerjaan untuk mereka. Hanya saja,
ketika nomer telepon Gentong dihubungi tidak pernah ada satu pun panggilan yang
diangkat. Keempat sahabat ini pun kembali kehilangan kontak.
Dari cerita papa
mengenai sahabat-sahabatnya memberikan saya arti tentang persahabatan yang
sebenarnya. Bagaimana seorang sahabat itu tetap mencari sahabatnya yang lain
ketika telah kehilangan kontak dengan mereka, bagaimana seorang sahabat memang
sudah seharusnya membantu sahabatnya yang sedang kesusahan dan tidak lari begitu
saja, sahabat yang turut merasakan kesusahan-kesusahan yang dialami oleh
seorang sahabatnya.
Saya tidak mendapati
perasaan menyesal terlukis pada wajahnya karena pernah berteman dengan mereka.
Ketika beliau menceritakan kenangan-kenangannya terdapat sebuah senyum
tersungging pada wajah keriputnya.
Saya belajar bagaimana
sahabat yang baik selalu tetap ‘tinggal’ dalam hati di saat teman-teman baru
berdatangan pada hidupnya. Bukan berarti kita tidak bisa move on, tetapi bagaimana caranya pula kita mempertahankan
seseorang yang membuat kita merasa ‘nyaman’. Bagaimana caranya kita dapat
berhubungan dengan yang baru tanpa meninggalkan yang ‘lama’. Untuk melakukannya
tidak semudah kedengarannya karena itulah tantangannya. Bukankah manusia selalu
merasa bahwa yang baru akan lebih baik dibandingkan yang lama?
Saya pun jadi teringat
pada kutipan yang mengatakan bahwa ketika kita mencari yang ‘sempurna’, maka
kita akan kehilangan yang ‘terbaik’.
Dan, saya tidak mau itu
terjadi.
Saya kemudian membayangkan,
mungkin suatu saat nanti akan tiba saatnya dimana saya akan bercerita mengenai
sahabat saya pada anak saya suatu saat nanti dengan wajah tersenyum, mengingat
betapa banyaknya pula pengalaman berharga entah itu menyedihkan atau
membahagiakan yang telah saya lakukan bersama dengan sahabat saya.
Sahabat… adalah orang
yang telah memberikan warna tersendiri dalam hidup kita. Sahabat, adalah orang
yang turut menyaksikan perjalanan hidup kita. Sahabat sejati statusnya bukan
hanya sebagai ‘teman’ tetapi jiwanya juga mampu ‘berkeluarga’ dengan kita.
Sahabat adalah teman yang akan berjuang, menopang kita ketika kita sedang
terjebak dalam kekalutan hati. Sahabat sejati tidak pernah menyerah untuk kita.
Karena kasihnya pun merupakan kasih yang sejati, yang akan bertahan lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar