Kamis, 09 Juli 2015

Tentang Sahabat: Aku


Dulu, semasa SD, saya pikir sahabat itu adalah teman di mana kita dapat pergi bersama kemana-mana lalu membeli jajan. Saya pikir, setiap hari berkirim pesan tanpa henti dengan seseorang itu sudah cukup mendefinisikan bahwa kami berdua adalah sahabat yang tak akan terpisahkan kecuali bila ajal datang menghadang.

Namun, pemikiran saya berubah ketika mulai duduk di bangku SMP. Semenjak lulus SD, saya dengan teman yang biasanya pergi membeli jajan bersama, makan bersama, dan berkirim pesan hampir setiap hari dan setiap saat itu kehilangan kontak. Kami tidak lagi berkirim pesan sama sekali dan seiring bertambahnya waktu, hubungan kami pun semakin memudar. Kami menjadi orang yang seperti tidak pernah dekat sama sekali, seperti orang asing.
Sekali waktu, saya pernah menyapanya melalui chattingan di Facebook, “Hai.” Sapaku.
Dia hanya menjawab singkat. “Hai juga.”

“Apa kabar?”

“Aku baik-baik saja.”
“Aku juga.”

  “Oh.”
Setelah itu, saya tidak tahu harus menjawab apa lagi. Bagi saya, jawaban “oh,” atau “Hahaha…” atau bahkan ketika keduanya dicampur menjadi “oh.. Hahaha…” sudah cukup mengisyaratkan bahwa, “aku sedang sibuk. Jangan digangggu!” atau “Ayolah, berhenti mengajakku chat! Aku bosan mengobrol denganmu.” Maka dari itu, saya putuskan untuk tidak menjawabnya lagi.
Berbulan-bulan lama setelahnya, kira-kira ketika saya duduk di kelas 9 SMP, saya iseng-iseng mencoba menghubunginya kembali. Namun, kali ini lebih parah, pesan saya tidak dibalas.
Saya bahkan tidak yakin dia masih mengingat saya ‘pernah’ menjadi teman dekatnya atau tidak.
Ya, hanya sebatas teman dekat, tidak lebih.
Sewaktu SMP, saya tidak memiliki teman dekat sama sekali yang ada hanya teman-pura-pura-dekat-lalu-menusuk-dari-belakang. Pada kelas 7, dia cukup dekat dengan saya akan tetapi saya mendengar dari teman-teman yang lain, dia ‘suka’ mengatakan keburukan saya bahkan memberikan doktrin pada anak-anak lain agar tidak mendekati saya.

Pertama kali saya mengetahuinya, saya bagaikan keledai bodoh yang mau saja ditipu oleh teman itu. Jujur saja, saya sakit hati akan tetapi saya tidak begitu saja memusuhinya. Saya hanya berusaha menjauhinya. Ya, mungkin itu lebih baik.
Setelah fake friend itu hadir dalam kehidupan saya, saya tidak lagi mendapatkan teman. Saya menjadi orang yang selalu duduk sendirian di ujung kelas, saya menjadi orang yang ditinggalkan dalam kerumunan, saya menjadi orang yang harus melangkah mundur dalam barisan ketika jalanan tak lagi cukup untuk kami jejali bersamaan, saya menjadi orang yang tidak pernah diajak pergi bersama kecuali saya yang meminta, saya menjadi orang yang menyantap makan siangnya sendirian.
Saya pikir, saya tidak masalah dengan semua itu. Saya tidak pernah menangis.
Perasaan muak itu mulai timbul dalam diri saya ketika saya duduk di bangku SMA.
Ketika saya sendirian di kamar, saya memikirkan semuanya. Ketika saya salah menganggap seseorang sebagai sahabat saya, ketika saya tidak memiliki seorang teman di masa SMP, dan ketika saya benar-benar merasa menjadi orang yang tidak diinginkan pada waktu SMA.
Semuanya itu berjalan dengan begitu saja dan tiba-tiba menimbulkan nyeri dalam dada. Mungkin, karena kurangnya perhatian inilah saya jadi sering meng-update status galau, menangis sendirian di dalam kamar, berdoa dengan bersimbah air mata pada Tuhan. Ya, saya mengalami semua itu.
Sampai datanglah seorang teman yang tidak saya sangka-sangka justru mendatangi saya ketika saya sedang sendirian. Mengapa saya katakan teman itu tidak saya sangka-sangka? Karena saya pikir, dia adalah anak yang kelihatannya cuek, dan pendiam. Pernah sekali waktu saya mengiriminya pesan pun hanya dijawab seadanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat saya penasaran terhadap anak itu sehingga hampir setiap hari saya mengikutinya kemanapun dia pergi.
Hingga pada suatu saat, karena suatu perkara yang sebenarnya merupakan perkara kecil itu pun terjadi dan menimbulkan suatu perubahan di antara kami berdua. Perkara itu membuat saya seakan dikembalikan pada kenyataan bahwa ternyata memang saya pantas untuk sendirian. Sampai kapan pun saya akan sendirian.
Sampai tibalah saya di masa yang labil, masa yang penuh dengan kealay-an. Saya sampai sering mengupdate status dengan kegalauan-kegalauan saya seakan dengan melakukannya saya dapat mengurangi perasaan galau saya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Perasaan sedih itu semakin menjadi-jadi. Beberapa hari awal, tidak ada yang pernah mengomentari status saya. Sampai pada suatu saat, teman yang membuat saya penasaran itu mendatangi saya dan menyarankan sebuah lagu dari idol group asal Jepang kesukaannya. Saya masih ingat judulnya adalah Uhho-Uhho. Malamnya, saya langsung mendengarkan lagu itu. Dan, jujur saja, saya tersenyum ketika mendengarkannya karena dengan lirik dari lagu tersebut dia seakan memberi tahu saya bahwa saya tidak pernah sendirian.
Semenjak hari itu, kami seperti bertukar posisi. Kalau dulu saya yang selalu mengikuti dia kemana-mana, sekarang giliran dia yang mengikuti saya. Jujur saja, walaupun pada waktu awal-awal perubahan itu terjadi saya kelihatannya cuek terhadap usahanya, namun dalam hati yang terdalam saya sangat senang. Seakan saya akhirnya memiliki seorang teman. Akhirnya, saya tidak harus lagi menjadi pengikut yang tidak pernah diajak pergi tetapi saya terus mengikuti mereka dari belakang.
Dia satu-satunya orang yang mungkin berinisiatif penuh untuk menemani saya setiap saya sendirian. Hal itu membuat saya merasa sangat bahagia. Saya belum pernah diperhatikan seperti itu sebelumnya.
Sampai waktu berganti dengan cepat, hubungan kami semakin dekat ketika dia meminta saya untuk menjadikannya sebagai seorang sahabat.
Pada waktu itu juga rasanya saya hampir menangis. Bukan, bukan menangis sedih tetapi menangis bahagia. Mata saya berkaca-kaca. Saya masih ingat, pesan itu saya terima ketika saya sedang dalam perjalanan dari Surabaya menuju Malang. Saat itu juga saya langsung membalas pesannya, “Tanpa kamu meminta pun, kamu sudah masuk di dalam daftar sahabat saya.”
Dalam sebuah hubungan persahabatan, memang tidak selalu baik. Selalu ada masalah yang membuat kami kembali berselisih paham. Memang, tidak pernah ada persahabatan yang sempurna. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha mempertahankannya. Ketika diantara orang-orang yang saling bersahabat itu tidak berinisiatif untuk mempertahankan hubungan tersebut maka pupus sudah persahabatan itu. Hancur lalu hilang dan hanya menjadi sebuah kisah masa lalu belaka yang tidak terulang dan terlalu berharga untuk dilepas begitu saja.
Selalu, dalam sebuah persahabatan, salah satu atau mungkin keduanya merasakan perasaan iri atau cemburu ketika dirasa ada yang lebih dekat dengan orang lain dibandingkan dengan dirinya. Mungkin karena takut bahwa sahabat itu nantinya lebih memilih untuk bersama yang baru? Karena dalam buku Koala Kumal, Raditya Dika, saya pernah membaca : Yang baru akan selalu terlihat lebih baik dibandingkan dengan yang lama.
Akan tetapi, jika perasaan ini terus dikembangkan, maka sebuah persahabatan akan lebih cepat hancur. Dibutuhkan kesetiaan dan kepercayaan dalam mempertahankan sebuah persahabatan. Saya pikir, sama seperti sebuah prestasi, mempertahankan persahabatan jauh lebih sulit dibandingkan memulai sebuah persahabatan.
Banyak sekali perselisihan-perselisihan di dalamnya, dan sekalinya tidak dapat mengatasi perselisihan itu dengan baik maka persahabatan itu akan kandas di tengah jalan dan ujung-ujungnya pasti akan timbul penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Di dalam persahabatan, harus ada salah satu yang mau mengalah, mau untuk lebih mengerti tentang perasaan sahabatnya, dan saling melengkapi serta saling mengasihi.
Ketika sebuah persahabatan mampu melewati cobaan itu, maka dapat dipastikan hubungan persahabatan pun akan menjadi semakin erat. Bukankah Tuhan memberikan cobaan untuk menguji kekuatan persahabatan itu sendiri? Sejauh apa persahabatan ini dapat bertahan?
Ujian lain dalam persahabatan yang cukup berat adalah: ketika kita harus terpisahkan oleh jarak.
Sama seperti halnya saya dengan sahabat saya itu. Salah satu kendala yang saya pikir dapat menghancurkan hubungan jarak jauh ini tidak hanya dalam persahabatan tetapi juga dalam hubungan antar kekasih adalah kurangnya komunikasi. Saya pikir, komunikasi memang diperlukan untuk memeriksa keadaan satu sama lain, tetap memberikan perhatian. Jika komunikasi dalam persahabatan itu hilang, maka jangan terkejut jika bertemu kembali dua sahabat atau lebih itu menjadi seperti orang asing yang kagok dalam sebuah percakapan. Dan, hal lain yang diperlukan dalam sebuah persahabatan adalah kepercayaan.
Percaya bahwa sahabat kita tidak akan membuang kita ketika di sana dia sudah menemukan sahabat barunya yang mungkin dia rasa lebih baik dibandingkan kita, tidak akan berhenti peduli pada kita, dan sebagainya.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah berdoa kepada Tuhan, agar di tangan Tuhan sendiri, kita serahkan hubungan persahabatan kita dan percaya bahwa di dalam nama Tuhan semua akan terjalin dengan indah. Mintalah kepada-Nya agar sahabat kita selalu dalam lindungan-Nya dan diberikan kebahagiaan selalu dalam hidupnya.
Kesibukan mungkin menjadi penghalang lain dalam hubungan persahabatan ini. Jika suatu saat sahabat kita sedang sibuk, mungkin kita perlu memakluminya dan justru memberikannya dorongan.
Sama seperti saya. Meskipun ada perasaan sedih juga karena tidak sedekat biasanya, saya tetap harus menguatkan dan berbesar hati untuk menerima keadaan seraya tak putus-putusnya memanjatkan doa agar hubungan persahabatan saya tetap terjaga dan berada dalam kontrol Tuhan.
The BEST will STAY.

Percaya saja. Jika kita yakin bahwa sahabat kitalah yang terbaik. Maka, sewaktu-waktu, tidak akan ada yang berubah diantara kalian. Yang ada kalian justru semakin didekatkan serta diakrabkan dalam Tuhan.
…..karena saya pun juga berharap demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar