Dulu, semasa SD, saya pikir sahabat itu adalah teman di mana kita dapat pergi bersama kemana-mana lalu membeli jajan. Saya pikir, setiap hari berkirim pesan tanpa henti dengan seseorang itu sudah cukup mendefinisikan bahwa kami berdua adalah sahabat yang tak akan terpisahkan kecuali bila ajal datang menghadang.
Namun, pemikiran saya berubah ketika mulai duduk di bangku
SMP. Semenjak lulus SD, saya dengan teman yang biasanya pergi membeli jajan
bersama, makan bersama, dan berkirim pesan hampir setiap hari dan setiap saat
itu kehilangan kontak. Kami tidak lagi berkirim pesan sama sekali dan seiring
bertambahnya waktu, hubungan kami pun semakin memudar. Kami menjadi orang yang
seperti tidak pernah dekat sama sekali, seperti orang asing.
Sekali waktu, saya pernah menyapanya melalui chattingan di Facebook, “Hai.” Sapaku.
Dia hanya menjawab singkat. “Hai juga.”
“Apa kabar?”
“Aku baik-baik saja.”
“Aku baik-baik saja.”
“Aku juga.”
“Oh.”
“Oh.”
Setelah itu, saya tidak tahu harus menjawab apa lagi. Bagi
saya, jawaban “oh,” atau “Hahaha…” atau bahkan ketika keduanya dicampur menjadi
“oh.. Hahaha…” sudah cukup mengisyaratkan bahwa, “aku sedang sibuk. Jangan
digangggu!” atau “Ayolah, berhenti mengajakku chat! Aku bosan mengobrol
denganmu.” Maka dari itu, saya putuskan untuk tidak menjawabnya lagi.
Berbulan-bulan lama setelahnya, kira-kira ketika saya duduk
di kelas 9 SMP, saya iseng-iseng mencoba menghubunginya kembali. Namun, kali
ini lebih parah, pesan saya tidak dibalas.
Saya bahkan tidak yakin dia masih mengingat saya ‘pernah’
menjadi teman dekatnya atau tidak.
Ya, hanya sebatas teman dekat, tidak lebih.
Sewaktu SMP, saya tidak memiliki teman dekat sama sekali
yang ada hanya teman-pura-pura-dekat-lalu-menusuk-dari-belakang. Pada kelas 7,
dia cukup dekat dengan saya akan tetapi saya mendengar dari teman-teman yang
lain, dia ‘suka’ mengatakan keburukan saya bahkan memberikan doktrin pada
anak-anak lain agar tidak mendekati saya.
Pertama kali saya mengetahuinya, saya bagaikan keledai bodoh
yang mau saja ditipu oleh teman itu. Jujur saja, saya sakit hati akan tetapi
saya tidak begitu saja memusuhinya. Saya hanya berusaha menjauhinya. Ya,
mungkin itu lebih baik.
Setelah fake friend itu hadir dalam kehidupan saya,
saya tidak lagi mendapatkan teman. Saya menjadi orang yang selalu duduk
sendirian di ujung kelas, saya menjadi orang yang ditinggalkan dalam kerumunan,
saya menjadi orang yang harus melangkah mundur dalam barisan ketika jalanan tak
lagi cukup untuk kami jejali bersamaan, saya menjadi orang yang tidak pernah diajak
pergi bersama kecuali saya yang meminta, saya menjadi orang yang menyantap
makan siangnya sendirian.
Saya pikir, saya tidak masalah dengan semua itu. Saya tidak
pernah menangis.
Perasaan muak itu mulai timbul dalam diri saya ketika saya
duduk di bangku SMA.
Ketika saya sendirian di kamar, saya memikirkan semuanya.
Ketika saya salah menganggap seseorang sebagai sahabat saya, ketika saya tidak
memiliki seorang teman di masa SMP, dan ketika saya benar-benar merasa menjadi
orang yang tidak diinginkan pada waktu SMA.
Semuanya itu berjalan dengan begitu saja dan tiba-tiba
menimbulkan nyeri dalam dada. Mungkin, karena kurangnya perhatian inilah saya
jadi sering meng-update status galau,
menangis sendirian di dalam kamar, berdoa dengan bersimbah air mata pada Tuhan.
Ya, saya mengalami semua itu.
Sampai datanglah seorang teman yang tidak saya sangka-sangka
justru mendatangi saya ketika saya sedang sendirian. Mengapa saya katakan teman
itu tidak saya sangka-sangka? Karena saya pikir, dia adalah anak yang kelihatannya
cuek, dan pendiam. Pernah sekali waktu saya mengiriminya pesan pun hanya
dijawab seadanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat saya penasaran terhadap
anak itu sehingga hampir setiap hari saya mengikutinya kemanapun dia pergi.
Hingga pada suatu saat, karena suatu perkara yang sebenarnya
merupakan perkara kecil itu pun terjadi dan menimbulkan suatu perubahan di
antara kami berdua. Perkara itu membuat saya seakan dikembalikan pada kenyataan
bahwa ternyata memang saya pantas untuk sendirian.
Sampai kapan pun saya akan sendirian.
Sampai tibalah saya di masa yang labil, masa yang penuh
dengan kealay-an. Saya sampai sering mengupdate status dengan
kegalauan-kegalauan saya seakan dengan melakukannya saya dapat mengurangi perasaan
galau saya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Perasaan sedih itu
semakin menjadi-jadi. Beberapa hari awal, tidak ada yang pernah mengomentari
status saya. Sampai pada suatu saat, teman yang membuat saya penasaran itu
mendatangi saya dan menyarankan sebuah lagu dari idol group asal Jepang kesukaannya. Saya masih ingat judulnya
adalah Uhho-Uhho. Malamnya, saya langsung mendengarkan lagu itu. Dan, jujur
saja, saya tersenyum ketika mendengarkannya karena dengan lirik dari lagu
tersebut dia seakan memberi tahu saya bahwa saya
tidak pernah sendirian.
Semenjak hari itu, kami seperti bertukar posisi. Kalau dulu
saya yang selalu mengikuti dia kemana-mana, sekarang giliran dia yang mengikuti
saya. Jujur saja, walaupun pada waktu awal-awal perubahan itu terjadi saya
kelihatannya cuek terhadap usahanya, namun dalam hati yang terdalam saya sangat
senang. Seakan saya akhirnya memiliki seorang teman. Akhirnya, saya tidak harus
lagi menjadi pengikut yang tidak pernah diajak pergi tetapi saya terus
mengikuti mereka dari belakang.
Dia satu-satunya orang yang mungkin berinisiatif penuh untuk
menemani saya setiap saya sendirian. Hal itu membuat saya merasa sangat
bahagia. Saya belum pernah diperhatikan seperti itu sebelumnya.
Sampai waktu berganti dengan cepat, hubungan kami semakin
dekat ketika dia meminta saya untuk menjadikannya sebagai seorang sahabat.
Pada waktu itu juga rasanya saya hampir menangis. Bukan,
bukan menangis sedih tetapi menangis bahagia. Mata saya berkaca-kaca. Saya
masih ingat, pesan itu saya terima ketika saya sedang dalam perjalanan dari
Surabaya menuju Malang. Saat itu juga saya langsung membalas pesannya, “Tanpa kamu
meminta pun, kamu sudah masuk di dalam daftar sahabat saya.”
Dalam sebuah hubungan persahabatan, memang tidak selalu
baik. Selalu ada masalah yang membuat kami kembali berselisih paham. Memang,
tidak pernah ada persahabatan yang sempurna. Yang ada hanya orang-orang yang
berusaha mempertahankannya. Ketika diantara orang-orang yang saling bersahabat itu
tidak berinisiatif untuk mempertahankan hubungan tersebut maka pupus sudah
persahabatan itu. Hancur lalu hilang dan hanya menjadi sebuah kisah masa lalu
belaka yang tidak terulang dan terlalu berharga untuk dilepas begitu saja.
Selalu, dalam sebuah persahabatan, salah satu atau mungkin
keduanya merasakan perasaan iri atau cemburu ketika dirasa ada yang lebih dekat
dengan orang lain dibandingkan dengan dirinya. Mungkin karena takut bahwa
sahabat itu nantinya lebih memilih untuk bersama yang baru? Karena dalam buku Koala Kumal, Raditya Dika, saya pernah
membaca : Yang baru akan selalu terlihat
lebih baik dibandingkan dengan yang lama.
Akan tetapi, jika perasaan ini terus dikembangkan, maka
sebuah persahabatan akan lebih cepat hancur. Dibutuhkan kesetiaan dan
kepercayaan dalam mempertahankan sebuah persahabatan. Saya pikir, sama seperti
sebuah prestasi, mempertahankan persahabatan jauh lebih sulit dibandingkan
memulai sebuah persahabatan.
Banyak sekali perselisihan-perselisihan di dalamnya, dan
sekalinya tidak dapat mengatasi perselisihan itu dengan baik maka persahabatan
itu akan kandas di tengah jalan dan ujung-ujungnya pasti akan timbul penyesalan
yang sudah tidak ada artinya lagi. Di dalam persahabatan, harus ada salah satu
yang mau mengalah, mau untuk lebih mengerti tentang perasaan sahabatnya, dan
saling melengkapi serta saling mengasihi.
Ketika sebuah persahabatan mampu melewati cobaan itu, maka
dapat dipastikan hubungan persahabatan pun akan menjadi semakin erat. Bukankah
Tuhan memberikan cobaan untuk menguji kekuatan persahabatan itu sendiri? Sejauh
apa persahabatan ini dapat bertahan?
Ujian lain dalam persahabatan yang cukup berat adalah:
ketika kita harus terpisahkan oleh jarak.
Sama seperti halnya saya dengan sahabat saya itu. Salah satu
kendala yang saya pikir dapat menghancurkan hubungan jarak jauh ini tidak hanya
dalam persahabatan tetapi juga dalam hubungan antar kekasih adalah kurangnya
komunikasi. Saya pikir, komunikasi memang diperlukan untuk memeriksa keadaan
satu sama lain, tetap memberikan perhatian. Jika komunikasi dalam persahabatan
itu hilang, maka jangan terkejut jika bertemu kembali dua sahabat atau lebih
itu menjadi seperti orang asing yang kagok
dalam sebuah percakapan. Dan, hal lain yang diperlukan dalam sebuah
persahabatan adalah kepercayaan.
Percaya bahwa sahabat kita tidak akan membuang kita ketika
di sana dia sudah menemukan sahabat barunya yang mungkin dia rasa lebih baik
dibandingkan kita, tidak akan berhenti peduli pada kita, dan sebagainya.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah berdoa kepada
Tuhan, agar di tangan Tuhan sendiri, kita serahkan hubungan persahabatan kita
dan percaya bahwa di dalam nama Tuhan semua akan terjalin dengan indah.
Mintalah kepada-Nya agar sahabat kita selalu dalam lindungan-Nya dan diberikan
kebahagiaan selalu dalam hidupnya.
Kesibukan mungkin menjadi penghalang lain dalam hubungan
persahabatan ini. Jika suatu saat sahabat kita sedang sibuk, mungkin kita perlu
memakluminya dan justru memberikannya dorongan.
Sama seperti saya. Meskipun ada perasaan sedih juga karena
tidak sedekat biasanya, saya tetap harus menguatkan dan berbesar hati untuk menerima
keadaan seraya tak putus-putusnya memanjatkan doa agar hubungan persahabatan
saya tetap terjaga dan berada dalam kontrol Tuhan.
The BEST will STAY.
Percaya saja. Jika kita yakin bahwa sahabat kitalah yang
terbaik. Maka, sewaktu-waktu, tidak akan ada yang berubah diantara kalian. Yang
ada kalian justru semakin didekatkan serta diakrabkan dalam Tuhan.
…..karena saya pun juga berharap demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar